Oleh: Andika Pratama )*
Pemerintah telah menunjukkan komitmennya dalam menghargai peran vital tenaga pengajar di perguruan tinggi, khususnya dosen yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Pencairan tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen ASN yang akan dimulai pada Juli 2025 menjadi bukti bahwa negara tidak lagi mengabaikan tuntutan kesejahteraan kelompok strategis ini. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2025 yang telah diteken Presiden Prabowo Subianto menjadi dasar hukum dari kebijakan tersebut, sekaligus menjawab desakan panjang dari para dosen yang selama bertahun-tahun menanti keadilan dalam sistem tunjangan kepegawaian.
Kebijakan ini tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari dinamika sosial yang berkembang, termasuk aksi demonstrasi para dosen pada awal 2025. Aksi tersebut mengangkat aspirasi yang selama ini terpendam: selama lebih dari satu dekade, dosen ASN tidak menerima tunjangan kinerja seperti halnya pegawai kementerian lainnya. Sebagai gantinya, mereka hanya memperoleh tunjangan profesi, yang hanya diberikan kepada dosen bersertifikat pendidik. Ketimpangan kemudian muncul ketika tunjangan profesi stagnan, sementara tunjangan kinerja pegawai kementerian terus meningkat. Kondisi ini melahirkan ketidakadilan struktural dalam sistem remunerasi, yang tidak hanya berdampak pada kesejahteraan pribadi para dosen, tetapi juga berpotensi memengaruhi motivasi dan kualitas pengabdian mereka dalam tridarma perguruan tinggi.
Pemerintah pun bergerak cepat. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa pada masa awal, nominal tunjangan profesi dosen lebih tinggi daripada tunjangan kinerja pegawai kementerian, sehingga tidak menimbulkan protes. Namun seiring waktu, disparitas tersebut makin terasa karena tunjangan profesi cenderung stagnan. Hal ini menjadi perhatian tersendiri mengingat dosen merupakan ujung tombak dalam mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas, serta berperan besar dalam riset dan pengabdian kepada masyarakat.
Langkah Presiden Prabowo menandatangani Perpres Tukin Dosen patut diapresiasi sebagai kebijakan yang tidak hanya responsif, namun juga berorientasi pada pemulihan kepercayaan para tenaga pengajar terhadap negara. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hj. Himmatul Aliyah, menilai kebijakan ini merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan dosen, sekaligus hasil nyata dari perjuangan panjang yang dikawal oleh berbagai pihak, termasuk legislatif. Ia menegaskan bahwa kesejahteraan dosen telah menjadi prioritas Komisi X dalam setiap pembahasan bersama kementerian terkait, dan kini telah diwujudkan dalam kebijakan yang konkret.
Langkah teknis juga telah dipersiapkan dengan cermat. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, memastikan bahwa aturan teknis berupa peraturan menteri dan petunjuk teknis (juknis) akan rampung dalam waktu dekat. Ia juga menjelaskan bahwa penilaian kinerja dosen akan dilakukan berdasarkan capaian dalam satu semester, bukan secara bulanan seperti pegawai pada umumnya. Hal ini mempertimbangkan karakteristik unik dari profesi dosen, di mana output akademik seringkali baru terlihat dalam jangka waktu tertentu. Meski demikian, pemerintah masih mengkaji kemungkinan agar pembayaran tetap dilakukan bulanan untuk memberikan kepastian finansial yang lebih baik bagi para dosen.
Pencairan tunjangan kinerja ini akan dimulai pada Juli 2025 dengan pembayaran retroaktif sejak Januari 2025. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,66 triliun untuk mendanai tukin bagi 31.066 dosen ASN yang berada di lingkungan Perguruan Tinggi Negeri Satuan Kerja (PTN Satker) dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) yang belum menerapkan sistem remunerasi internal. Dosen di lingkungan PTN Badan Hukum (PTN-BH) dan BLU yang telah memiliki sistem remunerasi tidak termasuk dalam skema ini, karena mereka sudah mendapatkan insentif melalui mekanisme lain.
Pencairan tukin ini bukan semata soal uang. Lebih dari itu, ini adalah pengakuan negara terhadap kerja intelektual dan dedikasi moral para dosen. Kebijakan ini juga diharapkan dapat meningkatkan semangat dan produktivitas dosen dalam menjalankan tridarma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan beban tanggung jawab yang besar dan tuntutan akademik yang tinggi, dosen memang layak mendapat perhatian dan perlakuan yang adil dari negara. Dalam jangka panjang, dukungan terhadap kesejahteraan dosen akan berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Ke depan, implementasi kebijakan ini perlu diawasi agar berjalan sesuai harapan. Distribusi tukin harus dilakukan secara adil dan transparan, berdasarkan capaian kinerja yang terukur. Kementerian terkait juga perlu memastikan bahwa mekanisme penilaian tidak membebani dosen secara administratif, namun tetap objektif dalam mengukur kontribusi akademik mereka. Sistem yang baik akan menghasilkan dampak yang optimal, tidak hanya bagi dosen itu sendiri, tetapi juga bagi institusi dan mahasiswa yang mereka bina.
Pencairan tunjangan kinerja dosen ASN adalah sinyal bahwa negara hadir untuk mendengar dan bertindak atas keluhan warganya, terutama mereka yang selama ini menjadi pilar utama pembangunan sumber daya manusia. Ini adalah momen penting dalam reformasi kebijakan kepegawaian di sektor pendidikan tinggi. Kebijakan ini layak dicatat sebagai langkah positif dan progresif dalam sejarah pelayanan negara kepada para pendidik bangsa. Semoga ini menjadi awal dari perhatian yang lebih besar dan berkelanjutan terhadap kesejahteraan dosen di seluruh Indonesia.
)* Penulis adalah Kontributor Jabbartrigger